Rasan-rasan (Dialog) Tiga Generasi

Malala Yousafzai, aktvis wanita dari Pakistan, peraih Nobel termuda bidang kemanusian, menganjurkan proses dialog untuk mengakhiri peperangan. Pun, ketika hendak menyelesaikan suatu masalah.

Bagi WALI, dialog bukan suatu yang asing. Sejak pertama menggulirkan ide pendirian pesantren di Desa Gumuk Rejo, Desa Kepoh, Kecamatan Sambi, Boyolali, modal utamanya memang dialog.

Rasan-rasan, kalau orang jawa bilang. Adalah Awaluddin Hanafi, Isnaini Ekhsan, dan Muh Farid Abdillah, tiga bersaudara dari pasangan Pak Sudarmadi- Bu Sukini yang memulai niatan itu. Berasal dari perbincangan ringan mereka terkait apa yang akan menjadi sumbangsih kita kepada masyarakat, setelah kita mati?

Apa yang bisa kita wariskan untuk generasi mendatang?

Dari sini ide untuk membangun pesantren mengalir. Gayung bersambut sang ayah, Sudarmadi (Alamat: Dibal, Ngemplak, Boyolali) enteng mewakafkan sebidang tanah warisan sependapat dengan niat itu. Kemudian, seperti getok tular, ide ini memantik dan menyentuh beberapa saudara yang lain untuk mewakafkan tanahnya. Di antaranya adalah:

• Bapak HM Djufrie (Alamat: Kertonatan, Kartosuro)
• Ibu Sri Mulyani (Alamat: Gagaksipat, Ngemplak, Boyolali)
• Bapak Hadi Suparmo (Alamat: Gumukrejo, Kepoh, Sambi, Boyolali)
• Bapak Sukimin (Alamat: Klodran, Ngemplak, Boyolali)
• Bapak Sunarto (Alamat: Gumukrejo, Kepoh, Sambi, Boyolali)

Ide kemudian terus dipertajam. Hanafi sebagai anak tertua memimpin adik-adiknya menghubungi Mbah Djufrie. Beliau adalah anak bontot dari 9 bersaudara pasangan Mbah Asmoredjo-Ibu Surtikanti.

Dengan kata lain, Mbah Djufri adalah generasi pertama. Sementara Hanafi dan adik-adiknya generasi ketiga, karena ayah mereka (generasi kedua) adalah putra Mbah Wiro, saudara sekandung dengan Mbah Djufrie.

Ide mendirikan pesantren di Gumuk Rejo, sebetulnya sudah bersemayam di benak Mbah Djufrie sekian lama. Namun karena keterbatasan sumber daya, dia menempuh jalan memutar.

Diawali dengan mendirikan lembaga yang akan menghasilkan laba terlebih dahulu yang nantinya sebagian keuntungannya dialokasikan untuk kegiatan pesantren. Namun, ternyata karena banyak hambatan teknis, ide besarnya itu belum terlaksana secara sempurna.

Karena itu begitu mendengar penuturan Hanafi Cs, ia pun dengan semangat mendukung pemikiran itu. Tidak cukup dengan lisan, tapi juga turun langsung dan turut mewakafkan sebidang tanahnya di Gumuk Rejo, yang nantinya separuhnya untuk makam dan sisanya untuk dikembangkan pesantren.

Mbah Djufri berpesan bahwa ide ini akan bisa direalisasikan bila mengajak keluarga yang lain berperan aktif. Terutama mereka yang juga memiliki kepedulian yang sama. Apalagi, kalau sebelumnya pernah mengenyam dunia pesantren, diharapkan akan bisa sharing pengalaman.

Lantaran itu, Hanafi menghubungi M. Luthfi Hamidi, yang waktu itu masih menjalani tugas belajar di Australia. Luthfi pernah tiga tahun mondok di PP Al Muayyad, Solo. Di pondok al-Qur’an itu, dia menamatkan pendidikan MTs-nya, sebelum kemudian melanjutkan SMA Al-Islam Surakarta.

Luthfi termasuk generasi kedua, karena terlahir dari pasangan Pak Muhammad Rodji- Bu Sriyatin. Ayah Luthfi adalah putra Mbah Asmoredjo dan kakak kandung Mbah Djufrie.

Hubungan Hanafi-Luthfi sudah terjalin sejak anak-anak. Dulu hampir tiap momentum lebaran, semua anak-cucu Mbah Asmo selalu berkumpul di rumah Gumuk Rejo. Tidak terkecuali mereka. Hanafi, Ekhsan, Farid, dan Luthfi sudah seperti genk sendiri.

Kemana-mana bersama. Dari mencari batu pijar (batu yang kalau digesekkan keluar percikan api) hingga mencari ikan. Khusus yang terakhir, ayah Hanafi yang sering mengajak “nyetrum”, dengan memanfaatkan aki 12 volt yang dihubungkan dengan trafo.

Strum yang dihasilkan cukup membuat si ikan terkejut dan lumpuh, sebelum kemudian dijaring. Karena sudah dari kecil berteman, jadi hampir tidak ada kendala komunikasi. Saling mengisi.

Generasi ketiga yang lain yang turut aktif dalam yayasan adalah Muhammad Fathan Kairul Iman. Sebagaimana Hanafi, Fathan adalah generasi ketiga.

Kedunya bertemu dari kakek (generasi pertama) yang sama, Mbah Wiro. Fathan yang sehari-hari sebagai pebisnis ulet ini, diamanahi sebagai sekretaris Yayasan.

Dari dialog tiga generasi ini semangat untuk mendirikan pesantren dimulai. Sebuah perjalanan panjang, yang butuh konsistensi, perjuangan, dan tidak kalah penting: doa. Ya Allah mudahkanlah langkah kami.

Ridhoilah perjuangan kami. Jadikanlah tiap tetes keringat dalam perjuangan ini sebagai amal kebaikan yang akan menutup kekhilafan dan kejelekan kami.

Engkaulah sebaik-baik Pemberi. KepadaMulah kami bertawakal. Amiin